Saya gak tahu akan menjadi apa tulisan kali ini, karena niat
pertama saya buka laptop yah sebenarnya cuma mau ngedumel ngeluarin uneg-uneg. Tenang,
ndumelan saya kali ini gak akan sesarkas bahasa-bahasa cabe-cabean yang behelnya
mulai kendor, sebagai laki-laki yang mengidolakan Buya Hamka, saya akan tetap
cool dan idealis walaupun isi dari tulisan ini agak sedikit gak karuan.
Sudah hampir setengah bulan ini saya sedikit gundah gulana,
gak ngerti harus ngapain. Rasanya bingung aneh, rasanya ingin terus ngedumel,
bahkan secara tak sengaja saya pernah memaki pengendara sepeda motor yang jalan
di trotoar.
Walaupun demikian, isi dari tulisan ini bukan ditujukan
kepada Manchester City yang kalah dalam derby Manchester, dan menjadi tim
pesakitan yang menghuni peringkat keempat dalam klasemen BPL. Bukan juga
tentang gaya mainnya yang seolah jadi tim medioker di daratan Britania. Atau
tentang kegelisahan tentang apa yang dilakukan oleh seorang Pamela Safitri
merupakan bentuk perlawanan dalam konteks independensi foto selfie.
Jika sebelumnya saya menulis esai, kali ini saya menulis
tentang dumelan. Cepat sekali berubah bukan ? Yah, sungguh cepat bahkan teramat
cepat, karena tidak ada sesuatu yang dapat bertahan dan kekal di dunia ini. Perasaan
dan takdir itu sangat berkorelasi, bila takdir mengizinkan maka perasaan pun
bisa langsung berubah.
Sebenarnya saya juga masih belum mengerti apa yang akan saya
tuliskan kali ini, saya juga bingung bagaimana mau ceritanya. Tapi yah saya
biarkan sendiri jari dan hati saya menuliskan setiap kalimat demi kalimat
disini. Kalau berbicara tentang apa yang saya lakukan dan saya korbankan untuk
dia, dan semua hal yang tidak terbalaskan, tidak etis rasanya. Hal tersebut
malah akan menegaskan bahwa saya adalah manusia paling pamrih se Mangga Besar.
Kalau saya mau menilai untung apa rugi, yah jelas rugi. Tapi
cinta bukan bisnis yang hanya bicara soal untung dan rugi, semua hal yang
dilakukan atas motivasi perasaan yah harus ikhlas, bahasa idealisnya yah legowo.
Kata orang-orang lelaki sejati itu tetap dapat menerima
jenis penolakan apapun yang dilakukan oleh para perempuan, ingat yahhh
PENOLAKAN, bukan PENGGANTUNGAN. Rekan sejawat saya yang dinamai Ahmad Komarudin
oleh kedua orang tuanya pernah bilang “laki-laki harus tegas, kalo ada sistem
pergantungan yah harus berani ambil keputusan.”
Sejak perkataan rekan saya tersebut, saya mulai yakin kalau hal-hal
yang menggantung hanya dikuasai oleh personil Duo Serigala dan sistem
kepemerintahan saat ini. Jadi maksudnya adalah kalau ditolak yah legowo kalau
digantung yahh berontak. Awalnya hal yang saya sadari ini hanyalah penolakan,
tapi lama kelamaan malah menjadi penggantungan. Kalaupun ini penolakan dalam
bentuk penggantungan atau sebaliknya, jelas saya tidak hanya harus legowo, tapi
yah harus berontak juga.
Pada akhirnya pun saya resign dalam menyikapi penolakan
dengan keidealisan saya, menyikapinya dengan positif hanya akan membuat saya
capek teraniaya dengan perasaan saya sendiri. Mungkin dalam tulisan kali ini
saya juga harus sedikit bersikap provokatif tapi tetap idealis.
Coba satu tahun yang saya berikan ternyata tidak cukup untuk
meluluhkan, saya hanya bingung kenapa ada orang yang masih saja bertahan dalam
keadaan hidup redam seperti itu. Lampu dirumah saya saja segera saya ganti jika
sinarannya mulai meremang dan terasa inkonsisten.
Tapi ini soal perasaan, perempuan kenapa enggan sekali
berpikir kedepan dan visioner, serta mempertimbangkan keputusannya untuk
bertahan ? Lampu yang sinarannya sering kedap-kedip dapat merusak pengelihatan
kita, bagaimana dengan hati ? Hubungan yang kedap-kedip juga akan berdampak pada
hati dan perasaan bukan ? apa jangan-jangan cara terbaik untuk menahan seorang
wanita agar bertahan dan terus bersama kita adalah dengan merusak hatinya ? Yah
jelas tidak, hanya laki-laki bermental Hello Kitty yang mau melakukan hal
tersebut, dan hanya perempuan dengan jiwa abnormal yang mau diperlakukan
seperti itu.
Bahagia adalah esensi dari frasa cinta, jika memang mencari
bentuk kebahagiaan dari cinta kenapa harus ada air mata ? Kenapa harus ada
pahit yang mengiringi ? Kita sedang mereguk kebahagiaan, bukan secangkir kopi.
Adagium mainstream bahwa “Semua butuh pengorbanan” hanya sebuah konsensus yang
dibangun dari mereka yang sudah dibudaki oleh hawa nafsu. Ingat, bahagia tidak
semenyiksa itu girls.
Jadi, apa alasan terbaik saya untuk bertahan memperjuangkan
orang-orang yang begitu. Saya bukan seorang filsuf yang dapat menterjemahkan
bahasa non linguistik dalam sebuah kejadian menjadi sederet makna dalam
kehidupan. Tapi melihat apa yang terjadi belakangan ini, bisa pecah kepala saya
dibenturkan pada kenyataan penggantungan yang terjadi. Descrates adalah seorang filsuf
yang otaknya diawetkan di sebuah museum melalui pemikirannya yang
mengasilkan cogito ergo sum, lalu
saya ? Bertahan dengan idealisme dan pemikiran-pemikiran positif tadi hanya
akan membuat saya semakin terbenam, hati saya tidak terlalu besar untuk
diawetkan di museum seperti otaknya Descrates.
Sudahlah sebelum dumelan saya semakin gak karuan, lebih baik
saya akhiri. Sudah cukup saya dipusingkan dengan pergolakan nilai tukar Rupiah
kemarin, dan foto selfie bajindul Pamela Safitri. Jadi tidak usah pusing lagi
dengan urusan yang sama sekali gak penting-penting amat ini. Mungkin saatnya
saya belajar jadi lelaki yang tegar, setegar dek Chelsea Islan. Keep your chin up !!!
0 Komentar untuk "Ngedumel, Tentang Menyikapi Kegagalan"